
Halo Sahabat Golan, di era Orde Baru (1966-1998) kebebasan pers dan berpendapat mengalami pembatasan ketat. Pemerintah menggunakan berbagai cara untuk memastikan bahwa media hanya menyampaikan informasi yang sesuai dengan kepentingan penguasa. Seberapa ketat kontrol ini? Mari kita telusuri lebih dalam!
Media di Bawah Kendali Orde Baru
Salah satu cara utama Orde Baru dalam mengontrol media adalah melalui sistem perizinan yang ketat. Pemerintah mewajibkan semua penerbitan media untuk memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Jika sebuah media dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah, SIUPP mereka bisa dicabut kapan saja, yang berarti mereka harus menghentikan operasionalnya.
Selain itu, Departemen Penerangan berfungsi sebagai pengawas utama konten yang diterbitkan oleh media. Mereka dapat memberikan peringatan atau bahkan membredel (menutup) media yang dianggap menentang kebijakan pemerintah. Beberapa media yang mengalami pembredelan antara lain Harian Indonesia Raya, Tempo, dan Editor.
Sensor Ketat terhadap Konten
Sensor terhadap berita dan opini menjadi senjata utama pemerintah dalam membentuk opini publik. Semua media harus memastikan bahwa informasi yang mereka publikasikan tidak bertentangan dengan kepentingan negara. Topik yang dianggap sensitif, seperti korupsi di kalangan pejabat tinggi atau pelanggaran hak asasi manusia oleh militer, sangat jarang muncul di pemberitaan.
Tidak hanya media cetak yang terkena sensor, tetapi juga radio dan televisi. Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI) dikuasai oleh pemerintah, sehingga berita yang disiarkan selalu dalam narasi positif terhadap pemerintah. Dengan begitu, masyarakat hanya menerima satu sudut pandang tanpa adanya alternatif informasi.
Pengawasan oleh Rezim Orde Baru
Orde Baru tidak hanya mengontrol media, tetapi juga masyarakatnya. Melalui operasi intelijen seperti Operasi Petrus (Penembakan Misterius) dan program pemantauan aktivis, banyak jurnalis serta akademisi yang merasa terancam. Siapa pun yang dianggap menyebarkan berita “subversif” bisa ditangkap tanpa proses hukum yang jelas.
Selain itu, konsep Asas Tunggal Pancasila digunakan untuk menekan organisasi-organisasi yang dianggap berlawanan dengan pemerintah. Siapa saja yang berani mengkritik pemerintah dapat dicap sebagai anti-Pancasila, yang berarti mereka bisa kehilangan pekerjaan, dijebloskan ke penjara, atau bahkan lebih buruk.
Perlawanan dari Jurnalis dan Aktivis
Walaupun ada banyak pembatasan, beberapa jurnalis dan aktivis tetap berusaha mencari celah untuk menyampaikan kebenaran. Misalnya, media seperti sebuah majalah sering menggunakan bahasa satir untuk menyampaikan kritik secara halus. Selain itu, gerakan bawah tanah seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mulai memberikan advokasi bagi jurnalis yang menghadapi tekanan dari pemerintah.
Di akhir 1990-an, perkembangan teknologi juga mulai membantu penyebaran informasi secara lebih luas. Fotokopi dan selebaran menjadi cara alternatif untuk menyebarkan berita yang tidak bisa diterbitkan oleh media resmi.
Akhir dari Era Kontrol Ketat
Keadaan mulai berubah ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997-1998. Demonstrasi besar-besaran dari mahasiswa dan tekanan dari berbagai pihak akhirnya memaksa Presiden Soeharto untuk lengser pada Mei 1998. Sejak saat itu, kebebasan pers mulai dipulihkan dengan dihapuskannya sistem SIUPP dan lahirnya Undang-Undang Pers tahun 1999.
Hari ini, media di Indonesia memiliki kebebasan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan era Orde Baru. Namun, tantangan baru seperti hoaks, disinformasi, dan tekanan dari kelompok-kelompok tertentu masih menjadi ancaman bagi kebebasan pers di Indonesia.
Tercapainya Kebebasan Pers
Orde Baru menggunakan berbagai cara untuk mengontrol media dan membatasi kebebasan berpendapat, mulai dari pembredelan media, sensor ketat, hingga ancaman fisik terhadap jurnalis dan aktivis. Namun, perjuangan untuk kebebasan pers tetap berlangsung, hingga akhirnya reformasi membuka jalan bagi kebebasan informasi yang lebih luas.
Meski begitu, tantangan baru tetap ada. Apakah kita benar-benar sudah merdeka dalam hal kebebasan berpendapat?. Mari sahabat golan berikan saran dan masukan ya mengenai kebebasan pers.