Petani Bomakia menunjukkan hasil panen padi ladang di tengah hutan Papua Selatan.
GOLANNUSANTARA.COM – Di pelosok tenggara Papua Selatan, Kampung Bomakia berdiri dalam sunyi yang tidak berarti pasif. Dari ladang-ladang yang dibuka dengan kerja keras dan doa, masyarakat setempat berhasil memanen padi dalam jumlah yang melimpah. Hasil ini bukan datang dari keajaiban, melainkan buah dari peluh dan ketekunan yang diwariskan secara turun-temurun.
Tanpa mesin canggih maupun pupuk kimia, sawah-sawah di Bomakia tumbuh di bawah langit terbuka, digarap dengan semangat gotong royong yang masih terjaga. Proses bertani dimulai dari membuka lahan hutan, menanam benih dengan tangan sendiri, hingga memanen setiap batang padi yang tumbuh dari tanah leluhur.
Panen kali ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi warga kampung. Padi yang mereka tuai bukan sekadar bahan pangan, melainkan simbol kemandirian dan harapan. Di tengah segala keterbatasan, Bomakia menunjukkan bahwa kampung terpencil pun mampu memberikan kontribusi nyata bagi ketahanan pangan daerah.
Namun, setelah panen usai, tantangan baru kembali datang. Ketiadaan alat penggilingan padi di kampung membuat warga harus mengangkut hasil panen ke lokasi lain. Jarak tempuh yang jauh dan biaya transportasi yang tidak sedikit menjadi beban tambahan yang terus berulang setiap musim panen tiba.
Di tengah keberlimpahan hasil, para petani Bomakia hanya bisa menyematkan harapan. Harapan itu mereka titipkan kepada pemerintah, khususnya kepada dinas-dinas terkait di Kabupaten Boven Digoel. Yang mereka butuhkan bukan sekadar janji, melainkan dukungan nyata berupa mesin penggilingan padi sederhana agar beras dapat diolah langsung di kampung.
Selain itu, ketersediaan alat-alat pertanian ringan seperti perontok padi dan mesin tanam juga sangat dibutuhkan. Bagi warga Bomakia, alat-alat ini bukanlah kemewahan, melainkan jembatan untuk meningkatkan produktivitas sekaligus mengurangi beban kerja yang selama ini mereka pikul bersama.
Bomakia tidak meminta banyak. Mereka hanya ingin diberdayakan. Agar hasil panen tidak sekadar menjadi tumpukan gabah yang menunggu diangkut, tetapi dapat diolah menjadi beras, menjadi makanan yang menguatkan keluarga, sekolah, dan seluruh warga kampung.
Secara geografis, Kampung Bomakia memang berada jauh dari pusat kota Tanah Merah. Jalan setapak dan kondisi cuaca yang tidak menentu sering menjadi tantangan tersendiri dalam distribusi hasil pertanian. Namun semangat warganya justru lebih dekat daripada yang dibayangkan semangat untuk mandiri dan hidup dari tanah sendiri.
Panen padi di Bomakia merupakan bukti nyata bahwa pertanian masih hidup dan tumbuh di jantung Papua Selatan. Kini, tinggal menunggu apakah pemerintah bersedia menyambut uluran tangan para petani ini dengan tindakan nyata.
Sebab dari ladang-ladang sederhana inilah, benih harapan untuk ketahanan pangan Papua Selatan ditanam dan dirawat hari demi hari. (*ERM)
