
Soeharto, sosok yang pernah berkuasa selama 32 tahun di Indonesia, masih menjadi perbincangan hingga kini. Ada yang mengenangnya sebagai Bapak Pembangunan, ada pula yang mengkritiknya sebagai penguasa otoriter. Lalu, bagaimana sebenarnya warisan yang ditinggalkan Soeharto? Mari kita kupas tuntas dalam artikel ini!
Soeharto, Sang Jenderal yang Menjadi Presiden
Soeharto naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1966 setelah peristiwa G30S. Dengan dukungan militer dan kondisi politik yang tidak stabil, ia berhasil mengambil alih kepemimpinan dari Soekarno. Kepemimpinannya dikenal sebagai era Orde Baru, yang diklaim membawa stabilitas dan pembangunan besar-besaran di Indonesia.
Namun, di balik gemilangnya pembangunan, ada sisi gelap yang tak bisa diabaikan. Kebijakan politik yang represif, pembungkaman kritik, dan pelanggaran HAM menjadi bayang-bayang dalam sejarah panjang kekuasaannya.
Pembangunan Ekonomi, Sebuah Berkah atau Kutukan?
Tidak bisa dipungkiri, di era Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh pesat. Dengan program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), Indonesia mengalami kemajuan di berbagai sektor:
1. Swasembada Pangan
Tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras, sebuah prestasi yang diakui dunia.
2. Pertumbuhan Ekonomi Stabil
Selama tahun 1970-an hingga awal 1990-an, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun.
3. Infrastruktur Meningkat
Jalan, jembatan, dan waduk dibangun untuk mendukung sektor pertanian dan industri.
Namun, keberhasilan ini juga dibayangi oleh:
1. Korupsi Merajalela
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) tumbuh subur, terutama di lingkaran keluarga dan kroni Soeharto.
2. Utang Luar Negeri Menggunung
Demi membiayai proyek-proyek besar, Indonesia berhutang besar yang berdampak pada krisis 1997-1998.
Jadi, apakah pembangunan ekonomi ini benar-benar membawa berkah, atau justru menjadi bom waktu bagi generasi selanjutnya?
Otoritarianisme Menjaga Stabilitas atau Membungkam Demokrasi?
Soeharto dikenal sebagai pemimpin yang kuat, tetapi juga represif. Demi menjaga stabilitas politik, ia menerapkan berbagai kebijakan yang membatasi kebebasan berpendapat. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Militer Menguasai Segalanya
ABRI (sekarang TNI) memiliki peran besar dalam pemerintahan, mulai dari eksekutif hingga legislatif.
2. Media Dikendalikan
Pers hanya boleh memberitakan hal-hal yang mendukung pemerintah, sementara kritik bisa berujung pada pembredelan.
3. Pelanggaran HAM
Kasus seperti Tragedi 1965, DOM di Aceh, dan penculikan aktivis di akhir masa Orde Baru menjadi noda hitam dalam sejarah Soeharto.
Bagi sebagian orang, Soeharto dianggap sebagai pemimpin yang sukses menjaga ketertiban. Namun, bagi yang lain, ia adalah penguasa yang menekan kebebasan rakyatnya.
Akhir Era Orde Baru
Krisis ekonomi 1997 menjadi titik balik bagi rezim Soeharto. Rupiah anjlok, harga kebutuhan pokok melonjak, dan rakyat mulai kehilangan kepercayaan. Puncaknya, gelombang demonstrasi besar-besaran pada Mei 1998 memaksanya mundur dari jabatannya.
Namun, hingga akhir hayatnya, Soeharto tidak pernah diadili atas dugaan korupsi dan pelanggaran HAM. Ia menghabiskan sisa hidupnya dalam status de facto bebas dari tuntutan hukum.
Bagaimana Kita Harus Mengingat Soeharto?
Soeharto adalah figur kompleks dalam sejarah Indonesia. Di satu sisi, ia membawa Indonesia menuju era pembangunan dan stabilitas ekonomi. Di sisi lain, cara kepemimpinannya yang otoriter dan sarat pelanggaran HAM meninggalkan luka bagi banyak orang.
Apakah Soeharto lebih layak dikenang sebagai Bapak Pembangunan atau penguasa otoriter? Jawabannya tergantung dari perspektif masing-masing. Yang pasti, kita harus belajar dari sejarah agar tidak mengulang kesalahan yang sama di masa depan.